Memasuki tahun 1990-an, BI mengeluarkan  Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi ketentuan yang mewajibkan bank  berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992 dikeluarkan UU Perbankan  menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi perubahan dalam  klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR.
UU Perbankan 1992 juga menetapkan  berbagai ketentuan tentang kehati-hatian pengelolaan bank dan pengenaan  sanksi bagi pengurus bank yang melakukan tindakan sengaja yang merugikan  bank, seperti tidak melakukan pencatatan dan pelaporan yang benar,  serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman hukuman pidana. Selain  itu, UU Perbankan 1992 juga memberi wewenang yang luas kepada Bank  Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perbankan.
Pada periode 1992-1993, perbankan  nasional mulai menghadapi permasalahan yaitu meningkatnya kredit macet  yang menimbulkan beban kerugian pada bank dan berdampak keengganan bank  untuk melakukan ekspansi kredit. BI menetapkan suatu program khusus  untuk menangani kredit macet dan membentuk Forum Kerjasama dari Gubernur  BI, Menteri Keuangan, Kehakiman, Jaksa Agung, Menteri/Ketua Badan  Pertahanan Nasional, dan Ketua Badan Penyelesaian Piutang Negara. Selain  kredit macet, yang menjadi penyebab keengganan bank dalam melakukan  ekspansi kredit adalah karena ketatnya ketentuan dalam Pakfeb 1991 yang  membebani perbankan. Hal itu ditakutkan akan mengganggu upaya untuk  mendorong pertumbuhan ekonomi.
Maka, dikeluarkanlah Pakmei 1993 yang  melonggarkan ketentuan kehati-hatian yang sebelumnya ditetapkan dalam  Pakfeb 1991. Berikutnya, sejak 1994 perekonomian Indonesia mengalami  booming economy dengan sektor properti sebagai pilihan utama. Keadaan  itu menjadi daya tarik bagi investor asing.
Pakmei 1993 ternyata memberikan hasil  pertumbuhan kredit perbankan dalam waktu yang sangat singkat dan  melewati tingkat yang dapat memberikan tekanan berat pada upaya  pengendalian moneter. Kredit perbankan dalam jumlah besar mengalir deras  ke berbagai sektor usaha, terutama properti, meski BI telah berusaha  membatasi. Keadaan ekonomi mulai memanas dan inflasi meningkat.
Tabel 1. Perkembangan Bank di Indonesia, 1988-1993
| Tahun | Kantor Bank Pemerintah | Kantor Bank Swasta | ||
| Pusat | Cabang | Pusat | Cabang | |
| 1988 | 7 | 852 | 104 | 876 | 
| 1989 | 7 | 922 | 141 | 1656 | 
| 1990 | 7 | 1018 | 164 | 2545 | 
| 1991 | 7 | 1044 | 185 | 3203 | 
| 1992 | 7 | 1066 | 201 | 3341 | 
| 1993* | 7 | 1066 | 213 | 3382 | 
Sumber  : Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia Bank Indonesia, Juli 1993; * Catatan : sampai Maret 1993 .
Dari segi penghimpunan dana masyarakat,  perbankan Indonesia juga mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi  terutama pada  tahun 1989-90.  Pada tahun 1989, jumlah dana yang  berhasil dihimpun meningkat 45 persen dibanding tahun sebelumnya,  mencapai 54,4 triliun rupiah.  Pada tahun 1990, jumlah dana yang  dihimpun mencapai 83,2 triliun, meningkat 52,9 persen  atau 121.7  persen  dari tahun 1988. Hal yang sama juga terjadi pada penyaluran  kredit. Pada 1989, kredit yang disalurkan perbankan melonjak 44,5 persen  menjadi  63.6 triliun rupiah dan mencapai 97,70 triliun rupiah atau  meningkat 122.0 persen pada 1990. Pelonggaran sistem likuiditas tersebut  ternyata menyebabkan situasi ekonomi memanas (over heated) dan  menimbulkan pengaruh semakin tingginya inflasi. Jumlah uang beredar  meningkat tajam sebesar 23,4 persen pada 1989 dan 73,2 persen pada 1990.  Demikian juga tingkat inflasi hampir mencapai dua digit 9,5 persen pada  1990 dan tetap pada tingkat yang sama pada 1991 (Tabel 2).
Tabel 2 . Perkembangan Dana, Kredit, Jumlah, Uang Beredar dan Tingkat Inflasi di Indonesia, 1988-93 (Milyar rupiah)
| Tahun | Deposit | Kredit | Uang Beredar | Inflasi (%) | 
| 1988 | 37.510 | 44.001 | 33.885 | 6.10 | 
| 1989 | 54.375 | 63.606 | 41.998 | 5.97 | 
| 1990 | 83.154 | 97.696 | 58.704 | 9.53 | 
| 1991 | 95.118 | 113.608 | 84.630 | 9.52 | 
| 1992 | 114.850 | 123.689 | 119.053 | 4.94 | 
| 1993* | 117.636 | 124.922 | 123.161 | 6.59 | 
Sumber  : Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia Bank Indonesia, Juli 1993; * Catatan : sampai Maret 1993
Keadaan ini memaksa pemerintah  memberlakukan kebijaksanaan baru dalam bidang moneter pada tahun 1990.   Paket Deregulasi Januari 1990 diluncurkan untuk membatasi jumlah kredit  likuiditas Bank Indonesia dan mengharuskan bank-bank membagi 20 persen  dari kreditnya kepada kredit usaha kecil (KUK).  Pada tahun yang sama  juga, dengan terpaksa pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan uang ketat  (Tight Money Policy) serta menarik dana milik BUMN dari beberapa bank  untuk mendinginkan suku perekonomian dalam negeri.
Di samping itu juga pemerintah menaikkan  suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk menarik dana dari  masyarakat. Meningkatnya suku bunga SBI tersebut membawa  dampak  peningkatan suku bunga perbankan lainnya seperti Surat Berharga Pasar  Uang dan Interbank Call Money. Pada tahun 1989 terjadi peningkatan tajam  tingkat bunga SBI dari 15,15 persen menjadi 19,88 persen, tingkat bunga  SBPU dari 17,00 persen menjadi 20,84 persen dan tingkat bunga interbank  dari 12,57 persen menjadi 21,53 persen.
C.   Kondisi Saat Krisis Ekonomi Mulai Akhir Tahun 1990-an
Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun  1992 tersebut diatur kembali struktur perbankan, ruang lingkup kegiatan,  syarat pendirian, peningkatan perlindungan dana masyarakat dengan jalan  menerapkan prinsip kehati-hatian dan memenuhi persyaratan tingkat  kesehatan bank, serta peningkatan profesionalisme para pelakunya. Dengan  undang-undang tersebut juga ditetapkan penataan badan hukum bank-bank  pemerintah, landasan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah), serta sanksi sanksi ancaman pidana terhadap yang melakukan pelanggaran ketentuan perbankan.
Sebagai rangkaian kebijakan deregulasi  dengan mengantisipasi perkembangan sebagaimana diuraikan di atas, pada  17 Desember 1990 Bank Indonesia menetapkan Pola Dasar Pengawasan dan  Pembinaan Bank yang dimaksudkan untuk menyesuaikan pola pengawasan dan  pembinaan bank agar tetap diarahkan untuk meningkatkan kedewasaan dan  kemandirian dalam pola pikir dan sikap yang bertanggungjawab dalam  mengamankan kepentingan masyarakat serta menunjang pembangunan ekonomi.
Pola dasar pengawasan dan pembinaan bank  harus dikembangkan sebagai konsep yang terintegrasi dengan dunia  perbankan dan pihak-pihak lain yang terkait. Untuk meningkatkan praktek  kehati-hatian bagi perbankan, Bank Indonesia mengeluarkan Paket  Kebijakan tanggal 28 Februari 1991 (Pakfeb 1991) tentang Penyempurnaan  Pengawasan dan Pembinaan Bank, yang memulai penerapan rambu-rambu  kehati-hatian yang mengacu pada standar perbankan internasional yang  antara lain meliputi ketentuan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal  Minimum, Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif.
Bertalian dengan ketentuan pasal 54  Undang-undang Perbankan 1992 yang menetapkan bahwa bank pemerintah harus  menyesuaikan bentuk hukum lembaga selambat-lambatnya setahun sejak  dikeluarkannya undang-undang tersebut, Bank Indonesia membantu bank-bank  yang bersangkutan termasuk pemegang saham yang dalam hal ini diwakili  oleh Menteri Keuangan untuk melakukan persiapanpersiapan yang diperlukan  dalam rangka mewujudkan penyesuaian yang diwajibkan. Sebelum  berakhirnya batas waktu, ketujuh bank pemerintah telah dapat melakukan  penyesuaian sehingga untuk selanjutnya nama resmi yang digunakan oleh  bank-bank tersebut adalah :
(i)  Bank Negara Indonesia (Persero)
(ii) Bank Bumi Daya (Persero)
(iii) Bank Rakyat Indonesia (Persero)
(iv) Bank Dagang Negara (Persero)
(v) Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero)
(vi)Bank Pembangunan Indonesia (Persero) dan
(vii)Bank Tabungan Negara (Persero).
Dengan telah ditempatkannya semua bank  pemerintah sebagai bank umum yang kedudukannya sama dengan bank-bank  umum lainnya, serta yang berlandaskan hanya pada satu undang-undang,  kebijakan Bank Indonesia yang khusus ditujukan kepada bank pemerintah  pada masa yang lalu, sejak saat itu ditiadakan. Perlakuan Bank Indonesia  terhadap bank pemerintah baik dalam pemberlakuan ketentuan perbankan  maupun dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan bank disamakan dengan  perlakuan terhadap bank-bank umum lainnya.
Terkait dengan kegiatan usaha bank  berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah) pada tanggal 30 Oktober 1992  diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1990 tentang Bank  Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam ketentuan tersebut ditegaskan  bahwa bank yang memilih kegiatan usahanya berdasarkan prinsip bagi hasil  tidak boleh melakukan kegiatan sebagai bank konvensional, demikian pula  sebaliknya.
Kegiatan operasional bank berdasarkan  prinsip bagi hasil baik dalam penghimpunan dan penanaman dana maupun  dalam pemberian jasa perbankan lainnya serta dalam hal risiko usaha pada  dasarnya sama dengan bank konvensional. Yang membedakan adalah bahwa  imbalan semua transaksi perbankan tidak didasarkan pada system bunga  melainkan atas dasar prinsip jual beli sebagaimana digariskan dalam  syariat (hukum) Islam.
Otoritas pengawasan 1983-1990
Di bidang pengawasan dan pembinaan  bank-bank, hingga tahun 1990 Bank Indonesia tetap berpijak pada  Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok- Pokok Perbankan. Di  bidang pengawasan dan pembinaan bank-bank, hingga tahun 1990 Bank  Indonesia tetap berpijak pada Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang  Pokok- Pokok Perbankan. Tugas tersebut tetap melekat bahkan dipertegas  dalam Undangundang Perbankan baru, yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1990.  Dalam Bab I pasal 29 sampai dengan 37 Undang-undang No. 7 Tahun 1990,  peran Bank Indonesia mencakup fungsi regulasi, pengawasan, pemeriksaan  dan pembinaan, serta penerapan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan  bank.
Selain dalam pasal-pasal tersebut,  terdapat pula kewenangan Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi  hal-hal yang dilakukan bank seperti dalam pasal 7 tentang kegiatan dalam  valuta asing, penyertaan modal, serta bertindak sebagai pendiri dan  pengurusan dana pensiun. Perbedaan fundamental dalam pelaksanaan tugas  Bank Indonesia berdasarkan kedua undang-undang tersebut adalah dari segi  pendekatan dan pola pelaksanaan dengan menerapkan kebijakan deregulasi.  Khusus untuk bank-bank pemerintah dan bank pembangunan daerah  pengawasannya juga dilakukan oleh BPK/BPKP. Sedangkan bank-bank yang  sudah go public pengawasannya dilakukan oleh Bank Indonesia dan Bapepam.
Nilai kurs sejak tahun 1990 – 1997
Sejak tahun 1990 sampai dengan minggu ke  dua Juli 1997 nilai tukar rupiah cukup stabil dan wajar. Pada akhir  Desember 1990 kurs antara rupiah dengan dolar Amerika Serikat (kurs  tengah) adalah Rp 1.901,00 dan kurs ini mengalami penyesuaian menjadi Rp  2.383,00 pada akhir tahun 1996. kestabilan nilai kurs rupiah berlanjut  sampai dengan 11 Juli 1997 dimana nilai kurs rupiah terhadap dolar  Amerika Serikat Rp. 2.440,00. Namun dalam minggu kedua Juli 1977  gonjangan terhadap nilai kurs rupiah mulai dirasakan, yang bermula dari  jatuhnya mata Uang Bath Thailand. Pemerintah pada tanggal 14 Agustus  1997 melepas bata-batas kurs intervensi.
Dengan pelepasan batas-batas kurs  intervensi, pemerintah meninggalkan sistem tukar upiah yang mengambang  terkendali menjadi sistem nilai tukar mengambang murni sehingga nilai  tukar kurs rupiah ditentukan sepenuhnya oleh kekuatan pasar. Walaupun  demikian, pemerintah dapat mempengaruhi nilai kurs rupiah baik secara  langsung maupun secara tidak langsung, yaitu melalui kebijaksaan fiskal  dan moneter.
D.   Jalan Berliku Perbankan Indonesia di 2008-2009
Perjalanan perekonomian Indonesia di  tahun 2008 penuh dengan tantangan dan kendala yang harus dihadapi,  sehingga memaksa para pelaku usaha dan pengusaha dari berbagai sektor  merevisi target pendapatan, pertumbuhan dan rencana bisnis investasinya.  Pasalnya siapa yang menduga, krisis keuangan global terjadi di tahun  ini dan akibatnya dampak tersebut mulai dirasakan negara berkembang,  khususnya Indonesia.
Meskipun dampak dirasakan belum separah  yang dialami negara maju, dimana sumber tsunaminya berasal. Namun ada  khwatiran dari pelaku ekonomi dan pengusaha dalam negeri. Pasalnya  banyak ramalan dan analisis dari pengamat ekonomi memperkirakan dampak  dari resesi ekonomi dunia akan terasa pada tahun depan, sehingga memaksa  pemerintah harus bekerja keras memutar otak mengantisipasi dampak lebih  buruk ditahun mendatang.
Krisis ekonomi global mulai ditandai  dengan runtuhnya lembaga keuangan terbesar di dunia asal Amerika Lehman  Brother, kredit macet sektor perumahan (subprime mortgage) dan disusul  kebangkrutan industri otomotifnya, seperti General Motor dan Ford.  Musibah yang menimpa di Amerika juga serentak dirasakan negara-negara  maju Eropa. Maka tak ayal, negara maju saja tidak bisa mengelak dari  krisis keuangan global dan apalagi negara berkembang seperti Indonesia.
Ternyata betul saja, dampak krisis  sempat memberikan sentimen buruk bagi lembaga keuangan bank dan non bank  di Indonesia. Pasar modal dalam negeri juga sempat terkoreksi pada  level yang paling buruk dampak menularnya kejatuhan pasar bursa di Wall  Street. Terkoreksinya pasar bursa dalam negeri sempat membuat otoritas  bursa menutup (suspensi) pasar dalam waktu dua hari.
Kepanikan Akibat Rumor Negatif
Muncul kabar dan rumor negatif adanya  redemption di pasar modal oleh para investor asing guna menutupi  keuangan di negaranya, telah membuat nilai tukar rupiah terus melorot  dan jatuhnya indek harga saham gabungan (IHSG).
Akibatnya, kepanikan para nasabah perbankan dalam negeri bertambah dan mereka menilai menyimpan dana di bank sudah tidak aman lagi.
Akibatnya, kepanikan para nasabah perbankan dalam negeri bertambah dan mereka menilai menyimpan dana di bank sudah tidak aman lagi.
Beberapa kali pemerintah mencoba  menyakinkan masyarakat, krisis yang terjadi tidak akan menjadikan  perekonomian Indonesia terpuruk sebagaimana yang terjadi di tahun 1998.  Pasalnya fundamental ekonomi di Indonesia masih kuat dan perbankan masih  berjalan sehat.
Tingginya intensitas rumor negatif yang  beradar di masyarakat, akhirnya mempertegas kondisi perbankan Indonesia  sedang mengalami ketatnya likuiditas antar bank. Gagal kriliring akibat  kesulitan likuiditas yang dialami bank Century menjadi bukti nyata  dampak rumor telah meresahkan sektor perbankan. Maklum saja lembaga  perbankan sangat sensitif dengan kabar dan rumor tersebut.
Banyaknya beredar rumor menjadi momok  menakutkan bagi sektor perbankan dan akhirnya membuat pemerintah geram.  Kekesalan pemerintah terhadap penyebar rumor berbuah hasil dengan  ditangkapnya broker PT Bahana Securitas, Erick Jazier Adriansyah pada  awal November.
Modus yang dilakukan si penyebar rumor  likuiditas perbankan nasional ini dengan menyebarkan surat elektronik  kepada sejumlah kliennya yang isinya bahwa lima bank dalam keadaan  kesulitan keuangan, yaitu Bank Artha Graha Internasional, Bank Bukopin,  Bank Century, Bank Panin, dan Bank Victoria.
Dengan alasan untuk mengembalikan  kepercayaan nasabah dan menjaga dampak sistemik keuangan di Indonesia,  pemerintah mengambil alih bank Century melalui Lembaga Penjamin Simpanan  dengan menyuntikkan dana hingga Rp2 triliun. Kasus diambil alihnya  Century oleh pemerintah telah menjadi tamparan telah bagi Bank  Indonesia. Pasalnya, sebagai bank sentral, BI dinilai lemah dalam  melakukan pengawasan antar Bank. Anggota DPR Komisi XI Drajat Wibowo  mengatakan, kasus Century bukan hanya tanggung jawab penyebar rumor  negatif tetapi juga tanggung jawab BI, karena gagalnya melakukan  pengawasan antar bank.
Di tengah tingginya persaingan perbankan  merebut pasar dalam negeri, ternyata dampak krisis keuangan global  membuat bisnis bank-bank BUMN harus direvisi dan bahkan lebih bersikap  hati-hati dalam mengucurkan kreditnya. Tidak mau menimbulkan kredit  macet dan tingginya Non Performance Loan (NPL), sekarang perbankan harus  lebih berhati-hati dan selektif menyalurkan kreditnya.
Hal semacam inilah yang dilakukan PT  Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang lebih selektif memberikan kucuran kredit  kepada nasabahnya, khususnya disektor perkebunan kelapa sawit. “Kita  tidak menurunkan kredit perbankan untuk sektor perkebunan, tetapi akan  lebih selektif” kata Direktur Risk Management Bank Mandiri Sentot A  Sentausa.
Menurutnya, apa yang dilakukan Bank  Mandiri dengan cara tersebut sebagai upaya mengantisipasi terjadinya  kredit macet yang tinggi, sebagaimana pengalaman yang terjadi di tahun  2005. Masih labilnya kondisi ekonomi dan ancaman lambatnya pertumbuhan  ekonomi di tahun mendatang, membuat kebijakan Bank Indonesia tentang  kepemilikan tunggal (Single Pressence Policy/SPP) berjalan di tempat dan  tidak ada progress yang signifikan, kendatipun BI sudah mengundurkan  target penerapan peraturan tersebut dari semula pada akhir 2008 menjadi  akhir 2010.
E.   Kondisi Terakhir Perbankan Di Indonesia
Kondisi perbankan di Indonesia semakin  membaik meski tekanan krisis keuangan global semakin terasa. Hal  tersebut terlihat dari berkurangnya keketatan likuiditas perbankan dan  tumbuhnya total kredit perbankan. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI)  Mulyaman D Hadad mengatakan, berdasarkan data perkembangan terakhir,  keketatan likuiditas sudah berkurang.
Dalam 2 bulan terakhir likuiditas mulai  berkurang, tapi masih menjadi perhatian. Bertambahnya likuiditas  perbankan tersebut karena ada pelonggaran ketentuan Giro Wajib Minimum  (GWM) dan peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK), sedangkan total kredit  tahun per tahun tumbuh 37,1 persen.
Kredit investasi juga mencatat  pertumbuhan tahunan tertinggi 42,9 persen, kredit modal kerja tumbuh 39  persen, kredit konsumsi tumbuh 33 persen. Adapun tingkat kredit macet  (Non Performing Loan/NPL) relatif stabil 3,9 persen. Kecukupan modal  perbankan (CAR) juga masih tinggi mencapai 16 persen. Risiko kredit dan  risiko pasar masih tergolong rendah, namun berpotensi meningkat apabila  pemburukan ekonomi global berlanjut. Lebih lanjut Mulyaman  memperkirakan, jika pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 4,9-5 persen,  pertumbuhan kredit bisa mencapai 15-20 persen di tahun 2009 mendatang.
Pejabat senior IMF Perwakilan Indonesia  Milan Zavadjil juga menyatakan bahwa sistem perbankan di Indonesia mulai  kuat dan memiliki modal serta kinerja bagus yang tercipta karena  membaiknya sistem pengawasan perbankan. Zavadjil yang dikutip dari  keterangan pers di website IMF menyebutkan kinerja perekonomian  Indonesia secara umum sangat baik dalam 10 tahun terakhir dengan  memperbaiki makro ekonomi dan stabilitas sistem keuangan terutama di  sektor fiskal dan kebijakan moneter.
Pernyataan ini sengaja dikeluarkan untuk  meluruskan pemberitaan yang keliru oleh media-media di Indonesia  mengenai penilaian atas ekonomi Indonesia dalam laporan IMF mengenai  kondisi stabilitas sistem keuangan Indonesia yang dipublikasikan  beberapa waktu lalu.
Keberhasilan menghadapi krisis keuangan  2008-2009 menjadi bukti jelas daya tahan sistem dan membaiknya  stabilitas keuangan Indonesia yang dibentuk 10 tahun terakhir ini.  Program penilaian sektor keuangan (Financial Sector Assessment  Program/FSAP) adalah analisis menyeluruh dan mendalam mengenai sektor  keuangan suatu negara yang telah dimulai sejak 1999 dan diikuti lebih  dari 150 negara termasuk negara anggota G-20.
Fokus penilaian program ini yaitu  mengukur stabilitas sektor keuangan dan potensi kontribusinya bagi  pertumbuhan dan pembangunan. Penilaian IMF, katanya termasuk melakukan  stress test kekuatan perbankan Indonesia menghadapi kondisi yang paling  ekstrim seperti penurunan pertumbuhan ekonomi.
Untuk Indonesia hasil stress test sangat  positif. Dalam tes dengan skenario bawah, meski keuangan bank terkena  dampak tetapi permodalan masih bertahan di batas yang ditentukan. Dalam  kesimpulan IMF, sektor keuangan Indonesia sudah menjadi sistem yang kuat  dan itu merupakan sinyal positif bagi investor dalam dan luar negeri.
Sumber : http://lovelycimutz.wordpress.com/2010/10/10/perkembangan-perbankan/
Sumber : http://lovelycimutz.wordpress.com/2010/10/10/perkembangan-perbankan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar